Pentingnya Pendidikan Karakter Pada Anak Sejak Usia Dini
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Salah
satu misi mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan telah termuat
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yaitu mewujudkan sistem dan iklim
pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak
mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat,
berdisiplin dan bertanggungjawab, berketerampilan serta menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia
Indonesia Terlihat dengan jelas GBHN mengamanatkan arah kebijakan di
bidang pendidikan yaitu: meningkatkan kemampuan akademik dan profesional
serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga
tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam
peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan
wibawa lembaga dan tenaga kependidikan; memberdayakan lembaga pendidikan
baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai,
sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.
Sementara
itu, UU 20 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berangkat
dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kondisi,
sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang mengarah
kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki
landasan yuridis yang kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari ketika
terjadi krisis akhlak yang menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak
terkecuali juga pada anak-anak usia sekolah. Untuk mencegah lebih
parahnya krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai dirintis melalui
pendidikan karakter bangsa. Dalam pemberian pendidikan karakter bangsa
di sekolah, para pakar berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat
yang berkembang. Pertama, bahwa pendidikan karakter bangsa diberikan
berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat kedua, pendidikan
karakter bangsa diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKn,
pendidikan agama, dan mata pelajaran lain yang relevan. Pendapat
ketiga, pendidikan karakter bangsa terintegrasi ke dalam semua mata
pelajaran.
1.2 TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah :
Mengetahui pengertian pendidikan karakter
Mengetahui bentuk-bentuk Pembelajaran Terpadu Yang Berkarakter
Mengetahui seberapa penting pendidikan karakter pada usia dini
Mengetahui peran guru dalam pendidikan karakter
1.3 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah :
Apa pengertian dari pendidikan karakter ?
Apa saja bentuk-bentuk pembelajaran terpadu yang berkarakter ?
seberapa penting pendidikan karakter pada usia dini ?
Apa saja peran guru dalam pendidikan karakter ?
1.4 RUANG LINGKUP
Ruang
lingkup dalam makalah ini adalah mengurai bentuk-bentuk pembelajaran
terpadu yang berkarakter serta mengkritisi seberapa penting adanya
pendidikan karakter pada anak usia dini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan
adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab.
Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi
lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai
(enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang
menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup
sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang
tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi
pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2)
kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas
untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan
mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi
kinestetis.
Pengertian
karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun
Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang
tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang
berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan
kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,
dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu,
pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang
dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan
(action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka
pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang
diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan
menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih
mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat
sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal,
yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua,
kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis;
keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan
gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras;
ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati,
dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan
pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan
holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan
acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan
bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan
feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat
sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan
perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu.
Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah
menjadi kebiasaan.
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru
membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan
bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi,
bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut
T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu,
yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh
karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka
membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan
karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang
juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki
tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar
tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar
tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan
isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli,
dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi,
cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa
karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan,
berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada
nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak
absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan
lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa
ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian
massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota
besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat
meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah
resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya
dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan
intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para
pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun
demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang
pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan,
sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan
moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan
klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan
tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam
diri peserta didik.
Ki
Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949
pernah berkata bahwa “Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan,
keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi,
manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa
yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar
dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau
hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan
ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan
atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
2.2 BENTUK-BENTUK PEMBELAJARAN TERPADU YANG BERKARAKTER
Menurut
Cohen dalam Degeng (1989), terdapat tiga kemungkinan variasi
pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan
dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated
curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu
(integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata
keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas
bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara
berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada.
Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada
hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan
sesuai dengan minat mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk
pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur
yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai
titik pusatnya (center core/center of interst).
Lebih
lanjut, model-model pembelajaran inovatif dan terpadu yang mungkin
dapat diadaptasi, seperti yang ditulis oleh Trianto, 2009, dalam bukunya
yang berjudul Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik
adalah sebagai berikut :
1. Fragmentasi
Dalam model ini, suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran
2. Koneksi
Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas
3. Sarang
Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran.
4. Rangkaian/Urutan
Dalam
model ini, topik atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras
dengan yang lain. Ide yang sama diberikan dalam kegiatan yang sama
sambil mengingatkan konsep-konsep yang berbeda.
5. Patungan
Dalam
model ini, perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang
konsep/gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem.
6. Jala-jala
Dalam
model ini, tema/topik yang bercabang ditautkan ke dalam kurikulum.
Dengan menggunakan tema itu, pembelajaran mencari konsep/gagasan yang
tepat.
7. Untaian Simpul
Dalam
model ini, pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir,
sosial, intelegensi, teknik, dan keterampilan belajar melalui variasi
disiplin.
8. Integrasi
Dalam
model ini, pendekatan interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran
untuk saling mengisi dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru
dalam model integrasi riil.
9. Peleburan
Dalam
model ini, suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
keahliannya, para pebelajar menjaring semua isi melalui keahlian dan
meramu ke dalam pengalamannya.
10. Jaringan
Dalam
model ini, pebelajar menjaring semua pembelajaran melalui pandangan
keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan
eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan.
2.3 PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER PADA USIA DINI
Pendidikan
karakter pada anak usia dini , dewasa ini sangat di perlukan di
karenakan saat ini Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter
dalam diri anak bangsa. Karakter di sini adalah watak, tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk
cara pandang , bepikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan tersebut
berupa Sejumlah nilai moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak,
dapat dipercaya, hormat pada orang lain, disiplin, mandiri, kerja
keras, kreatif.
Berbagai
permasalahan yang melanda bangsa belakangan ini ditengarai karena
jauhnya kita dari karakter. Jati diri bangsa seolah tercabut dari akar
yang sesungguhnya. Sehingga pendidikan karakter menjadi topik yang
hangat di bicarakan belakangan ini. Menurut Prof Suyanto Ph.D karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan
karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU
Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki
kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003
itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia
yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga
nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan
karakter di nilai sangat penting untuk di mulai pada anak usia dini
karena pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk
mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia
atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya
dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal
saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani
berbuat benar, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang,
berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras,
berkepribadian, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat,
bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa,
bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih,
hemat, ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan
(mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri,
mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan,
menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf,
pemurah, pengabdian, berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa
indah, rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki,
rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat
kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar,
sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah,
tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan
sejenisnya.
Sejatinya
pendidikan karakter ini memang sangat penting dimulai sejak dini. Sebab
falsafah menanam sekarang menuai hari esok adalah sebuah proses yang
harus dilakukan dalam rangka membentuk karakter anak bangsa. Pada usia
kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia
emas (golden age) terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam
mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50
persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak
berusia empat tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia
delapan tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir
dasawarsa kedua.
Dari
sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga,
yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Setelah keluarga, di dunia pendidikan karakter ini sudah harus menjadi
ajaran wajib sejak sekolah dasar.
Anak-anak
adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari.
Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan
karakter bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak akan terbentuk
dengan baik, jika dalam proses tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup
ruang untuk mengekspresikan diri secara leluasa.
2.4 PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK), yang kemudian diimplementasikan menjadi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan kurikulum yang
dirancang untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi sekolah dan
tenaga pendidik untuk melakukan praktik-praktik pendidikan dalam rangka
mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik, baik melalui
proses pembelajaran di kelas maupun melalui program pengembangan diri
(ekstrakurikuler). Pengembangan potensi peserta didik tersebut
dimaksudkan untuk memantapkan kesadaran diri tentang kemampuan atau life
skill terutama kemampuan personal (personal skill) yang dimilikinya.
Termasuk dalam hal ini adalah pengembangan potensi peserta didik yang
berhubungan dengan karakter dirinya.
Dalam
pengembangan karakter peserta didik di sekolah, guru memiliki posisi
yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa
ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber
inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru
sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan
kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki
tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter,
berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan
transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang
harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis,
harmonis, dan dinamis.
Ada
beberapa strategi yang dapat memberikan peluang dan kesempatan bagi
guru untuk memainkan peranannya secara optimal dalam hal pengembangan
pendidikan karakter peserta didik di sekolah, sebagai berikut :
1.
Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran. Guru tidak
seharusnya menempatkan diri sebagai aktor yang dilihat dan didengar oleh
peserta didik, tetapi guru seyogyanya berperan sebagai sutradara yang
mengarahkan, membimbing, memfasilitasi dalam proses pembelajaran,
sehingga peserta didik dapat melakukan dan menemukan sendiri hasil
belajarnya.
2.
Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran. Guru
dituntut untuk perduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep
pendidikan karakter pada materi-materi pembelajaran dalam mata pelajaran
yang diampunya. Dalam hubungannya dengan ini, setiap guru dituntut
untuk terus menambah wawasan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
pendidikan karakter, yang dapat diintergrasikan dalam proses
pembelajaran.
3.
Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan pengembangan
budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui
program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada
kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang
kontekstual, kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif
dan psikomotorik.
4.
Penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuh dan
berkembangnya karakter peserta didik. Lingkungan terbukti sangat
berperan penting dalam pembentukan pribadi manusia (peserta didik), baik
lingkungan fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan
guru perlu untuk menyiapkan fasilitas-fasilitas dan melaksanakan
berbagai jenis kegiatan yang mendukung kegiatan pengembangan pendidikan
karakter peserta didik.
5.
Menjalin kerjasama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam
pengembangan pendidikan karakter. Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan
adalah menempatkan orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai
fasilitator dan nara sumber dalam kegiatan-kegiatan pengembangan
pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah.
6.
Menjadi figur teladan bagi peserta didik. Penerimaan peserta didik
terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru, sedikit
tidak akan bergantung kepada penerimaan pribadi peserta didik tersevut
terhadap pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi,
dimana seseorang akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh apa yang
disenangi dari model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini sebenarnya
merupakan kesempatan bagi seorang guru, baik secara langsung maupun
tidak langsung menanamkan nilai-nilai karakter dalam diri pribadi
peserta didik. Dalam proses pembelajaran, intergrasi nilai-nilai
karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke dalam subtansi atau materi
pelajaran, tetapi juga pada prosesnya
Dalam
uraian di atas menggambarkan peranan guru dalam pengembangan pendidikan
karakter di sekolah yang berkedudukan sebagai katalisator atau teladan,
inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Dalam berperan
sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru merupakan faktor
mutlak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik yang
efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang ditiru oleh
peserta didik. Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus mampu
membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan
potensinya. Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru
harus mampu membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa
pada diri peserta didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap
guru memiliki kemampuan untuk mendorong peserta didik ke arah pencapaian
tujuan dengan penuh kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung
tinggi spiritualitas. Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berarti
setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau
prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai dalam pengembangan
pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui tingkat
efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.
Dengan
demikian berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
konteks sistem pendidikan di sekolah untuk mengembangkan pendidikan
karakter peserta didik, guru harus diposisikan atau memposisikan diri
pada hakekat yang sebenarnya, yaitu sebagai pengajar dan pendidik, yang
berarti disamping mentransfer ilmu pengetahuan, juga mendidik dan
mengembangkan kepribadian peserta didik melalui intraksi yang
dilakukannya di kelas dan luar kelas.
Guru
hendaknya diberikan hak penuh (hak mutlak) dalam melakukan penilaian
(evaluasi) proses pembelajaran, karena dalam masalah kepribadian atau
karakter peserta didik, guru merupakan pihak yang paling mengetahui
tentang kondisi dan perkembangannya.
Guru
hendaknya mengembangkan sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada
aspek afektif, dengan menggunakan alat dan bentuk penilaian essay dan
wawancara langsung dengan peserta didik. Aalat dan bentuk penilaian
seperti itu, lebih dapat mengukur karakteristik setiap peserta didik,
serta mampu mengukur sikap kejujuran, kemandirian, kemampuan
berkomunikasi, struktur logika, dan lain sebagainya yang merupakan
bagian dari proses pembentukan karakter positif. Ini akan terlaksana
dengan lebih baik lagi apabila didukung oleh pemerintah selaku penentu
kebijakan
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Pengertian pendidikan karakter
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all
dimensions of school life to foster optimal character development”.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku
pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku
warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
2.
Bentuk-Bentuk pembelajaran inovatif dan terpadu yang mungkin dapat
diadaptasi, seperti yang ditulis oleh Trianto, 2009, dalam bukunya yang
berjudul Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik adalah
sebagai berikut :
- Fragmentasi
- Koneksi
- Sarang
- Rangkaian/Urutan
- Patungan
- Jala-jala
- Untaian Simpul
- Integrasi
- Peleburan
- Jaringan
3.
Pendidikan karakter pada anak usia dini di nilai sangat penting karena
anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian
hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat
menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Pada usia kanak-kanak atau
yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age)
terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan
potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia
empat tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia delapan
tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa
kedua. Pada usia inilah proses pendidikan karakter di mulai proses
pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku
yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai
positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi
pekerti yang luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka,
bekerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko,
berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa,
berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke
depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur,
bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat,
demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur,
kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh
hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai
karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain,
menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian,
berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih
sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri,
rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap
mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan
santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal,
tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya.
4.
Peran guru dalam pendidikan karakter untuk peserta didik di sekolah
ialah , guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru
merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik.
Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap
dan perilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga
ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan
demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi
yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu
merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri
sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang
organis, harmonis, dan dinamis.
3.2 SARAN
Penulis
sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna , oleh
karena itu Prnulis sangat mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca dan dosen pembimbing , agar dalam pembuatan
makalah ke depannya dapat lebih baik.
judul asli “Pentingnya Pendidikan Karakter pada anak sejak usia dini , dan Peran Guru dalam pendidikan karakter”
Terima kasih. tulisannya sangat menarik. saran saya, refensinya juga dicantumkan agar lebih valid dan terhindar dari plagiarisme.
BalasHapus